KESETARAAN Gender merupakan sebuah topik menarik yang berkembang dilingkungan masyarakat sosial, peran perempuan yang ikut serta dalam pengambilan keputusan nyatanya mampu merubah sebuah regulasi yang diperlukan khususnya dalam birokrasi. Birokrasi yang berperan menjadi instrumen politik praktis, merupakan suatu jalan bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan yang berkaitan dengan fungsi pelayanan publik.

TS Poll - Loading poll ...
Coming Soon
Masyarakat Memilih, Siapa yang Layak Memimpin Berau 2025-2030?
{{row.Answer_Title}}
  • {{row.tsp_result_percent}} % {{row.Answer_Votes}} {{row.Answer_Votes}} ( {{row.tsp_result_percent}} % ) {{ tsp_result_no }}
VS VS

Hajriana, M.Pd, Dosen Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Kota Samarinda yang juga tergabung di Organisasi Muslimat Nahdatul Ulama (NU) Kota Samarinda, mengatakan, perempuan mampu memproses sebuah keputusan secara kognitif dengan memahami perspektif dan sudut pandang orang lain secara tepat.

“Misalnya, ketika mengambil keputusan perempuan biasanya lebih banyak membayangkan perasaan orang lain. Baik itu dengan perasaan yang sedih, marah, senang serta memahaminya dengan cara melihat pesan non verbal yang disampaikan dan sudut pandang orang tersebut,” ucapnya, Senin,(30/03/2024)

Hajriana menegaskan, meski demikian seorang pemimpin yang baik sejatinya merupakan orang yang mampu mengidentifikasi kebutuhan bawahannya melalui kebijakan yang tepat. Maka, dalam menentukan layaknya perempuan memimpin bukan menjadi sebuah standar yang ditentukan hanya berdasarkan gendernya saja, akan tetapi lebih dalam melihat karakteristik pemimpin itu sendiri.

TS Poll - Loading poll ...
Coming Soon
Masyarakat Memilih, Siapa yang Layak Memimpin Berau 2025-2030?
{{row.Answer_Title}}
  • {{row.tsp_result_percent}} % {{row.Answer_Votes}} {{row.Answer_Votes}} ( {{row.tsp_result_percent}} % ) {{ tsp_result_no }}
VS VS

“Perempuan biasanya lebih condong melihat sebuah risiko dan tanggungjawabnya dalam bertindak, serta memahami apa yang seharusnya dilakukankan,” tambahnya

Hajriana  juga menyampaikan, perspektif kesetaraan gender tidak menempatkan hak dan kewajiban yang ada pada tubuh manusia dalam posisi yang berlawanan, namun hak dan kewajiban tersebut selalu sama di mata setiap individu. Sehingga masyarakat sebaiknya dapat menjunjung tinggi konsep keadilan untuk semua, tanpa memandang jenis kelamin.

“Bahkan, dalam Islam perempuan berada di garis depan dalam upaya membebaskan perbudakan tirani, dengan menuntut persamaan hak dan tidak pernah memberikan prestise hanya pada satu jenis kelamin. Dengan mengajarkan Islam lahir sebagai agama yang menyebarkan cinta dan kasih sayang untuk semua,” pungkasnya. (*)