IKLAN VIDEO LIST

PERISTIWA lumpur Lapindo yang terjadi pada 29 Mei 2006 lalu masih lekat dalam ingatan warga korban di  Porong, Jawa Timur.  Semburan  lumpur panas yang hanya  berjarak 150 meter dari pemukiman warga setempat diketahui bermula dari kegiatan eksplorasi gas Blok Berantas yang dilalukan oleh PT Lapindo Brantas. Lumpur panas yang meluas tak terpulihkan tersebut terus menyembur hingga lebih dari 100 meter kubik per-harinya pada 2018 lalu.

Selain hilangnya ruang hidup warga Porong  akibat lumpur beracun tersebut, muncul pula  masalah kesehatan hingga pemiskinan yang dihadapi sepanjang 18 tahun terakhir. Alih-alih memulihkan dan menjerat PT Brantas Lapindo Inc, negara melalui putusan Mahkamah Agung justru menetapkan sebagai bencana nasional dengan alasan pelaku kejahatannya  tidak bisa dihukum.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga membuat kebijakan yang kontroversional termasuk memberikan pinjaman dana dari APBN kepada Bakrie Group selaku pemilik PT Brantas Lapindo Inc dengan total hingga 2017 lalu sebesar Rp 11,27 triliun.

Kondisi serupa saat ini juga tengah menimpa sekujur tubuh Kepulauan Indonesia dengan adanya peralihan kawasan penting dengan adanya peruntukan lain seperti menjamurnya izin konsesi yang mengekstraksi tanah dan  air. Kehadiran industri seperti ini menyebabkan penyiksaan bagi lingkungan  dan masyarakat. Pencemaran, bencana, kemiskinan, konflik, kriminalisasi hingga penghilangan nyawa sudah menjadi hal yang  kerap terjadi. Situasi ini menunjukkan ketidakmampuan negara untuk menjamin  keselamatan warga negaranya. Diperburuk dengan kelindan hubungan antara pemilik industri ekstraktif dengan penentu kebijakan di Indonesia saat ini.

Kalimantan Timur menjadi album lengkap dari proyek panjang penyiksaan pada lingkungan dan masyarakat. Sejak awal 1970’an hingga  sudah dikapling untuk izin-izin pengambilan kayu dan pabrik bubur kayu-kertas, lalu tambang emas dan migas, dilanjutkan dengan tambang batu bara, perkebunan kelapa sawit, tambang karst untuk semen hingga proyek hilirisasi seperti smelter nikel dan gasifikasi batu bara. Menjadi lengkap dengan adanya mega proyek Ibu Kota baru Indonesia di Kalimantan Timur.

Akibat ulah para penguasa rakyatlah yang terus tersiksa, menderita. Sebagai konsolidasi masyarakat korban, upaya penolakan untuk penghadangan laju pengrusakan lingkungan terus bergulir saat ini terus mendapatkan tekanan yang melemahkan. Perumusan dan perubahan regulasi yang memberikan lampu hijau bagi para investor dan penambang di Kaltim dengan terus mengabaikan  keselamatan dan perlindungan bagi warga dan ruang hidupnya. Sejumlah pasal dalam berbagai aturan hukum juga turut serta dalam menekan gerakan masyarakat yang menolak pertambangan serta pembangunan skala nasional yang rakus lahan dan sarat konflik.

Sebagai salah satu provinsi yang dikapling oleh izin industri ekstaktif, Kalimantan Timur justru tidak dirumuskan dalam upaya  pemulihan. Lubang-lubang tambang tanpa  reklamasi yang menyebabkan 49 korban,  pencemaran dan pembunuhan sumber-sumber air permanen, penghilangan hutan dan ladang masyarakat, kekeringan dan kebakaran serta banjir dan longsor diterus menyiksa masyarakat di Kaltim malah ditambah dengan ada mega proyek Ibu Kota Baru Indonesia serta indutri hilir dari  tambang, seperti gasifikasi batu bara serta  smelter nikel yang diklaim sebagai solusi untuk krisis lingkungan yang nantinya akan berkontribusi pada penurunan emisi karbon.

Realitanya ini hanya bualan saja, mega proyek Ibu Kota Baru Indonesia tidak lebih dari upaya pengguasan tanah secara monopoli dengan cara menggusur, merampas dan meracuni  masyarakat bahkan tidak hanya di Kaltim tetapi juga bagi pulau-pulau lainnya di Indonesia. Proyek-proyek transisi energi di Kaltim justru merupakan perpanjangan rantai ekstraktivisme yang dikelola atas nama kebutuhan energi yang kesemuanya tetap bersandar pada pertambangan, termasuk batu bara di Kalimantan Timur.

Maka  dalam  peringatan Hari Anti Tambang  saat ini, kami masyarakat korban menolak  untuk ditumbalkan bagi rantai panjang  pengancuran ruang hidup di sekujur tubuh  kepulauan. Kami masyarakat korban menyatakan untuk teguh mempertahankan ruang hidup kami bagi keadilan yang begenerasi. Kami masyarakat korban mendesak negara untuk menghentikan segala bentuk kekerasan bagi alam dan masyarakat atas nama pembangunan dan pencegahan krisis iklim melalui proyek-proyek industri berkedok solusi iklim.

Kami mendesak kepada pemerintah untuk segara melakukan pemulihan dan perlindungan bagi ruang hidup di Kaltim dan Indonesia terutama yang sedang didorong oleh warga dan kelompok bagi alam dan lingkungan. (*/)

Oleh: Jatam Kaltim