Lemahnya Tata Ruang dan Pengawasan Lingkungan Picu Krisis Ekologis Berau
OKEGAS.ID, Tanjung Redeb — Kondisi ekologis Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, menunjukkan tren memburuk dalam satu dekade terakhir. Deforestasi di wilayah hulu, sedimentasi sungai, pelanggaran tata ruang, serta lemahnya pengawasan lingkungan dinilai telah meningkatkan risiko banjir secara signifikan.
Berdasarkan rangkuman indikator kerusakan ekologis periode 2014–2024, deforestasi hulu berada pada status kritis. Analisis citra satelit selama sepuluh tahun terakhir memperlihatkan berkurangnya tutupan hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Kondisi ini memicu peningkatan limpasan permukaan (runoff) yang berujung pada banjir di wilayah hilir.
Selain itu, sedimentasi sungai di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kelay dan Segah tercatat berada pada kategori tinggi. Pendangkalan sungai menyebabkan penyempitan alur air dan menurunkan kapasitas tampung sungai, sehingga banjir semakin sering terjadi saat curah hujan meningkat.
“Kerusakan hutan di wilayah hulu Berau telah menghilangkan fungsi alami daerah resapan air. Ketika hujan ekstrem terjadi, air tidak lagi tertahan, tetapi langsung mengalir ke sungai dan permukiman,” jelas Ketua Umum Forum Muda (Forda) Merah Putih Kalimantan Timur, Mikael, Selasa (16/12/2025).
Masalah lain yang memperparah kondisi ekologis Berau adalah pelanggaran Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Menurut Mikael, sejumlah izin kegiatan dilaporkan berada di zona lindung, mengakibatkan hilangnya buffer ekologis yang seharusnya berfungsi menahan laju air dan menjaga keseimbangan lingkungan.
“Pelanggaran tata ruang menjadi masalah serius. Ketika zona lindung dialihfungsikan, maka buffer ekologis hilang dan risiko bencana meningkat secara sistematis,” katanya.
Di sisi pengawasan, implementasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dinilai lemah. Tidak adanya audit lingkungan tahunan membuat kewajiban mitigasi dampak lingkungan tidak berjalan optimal.
“Selama pengawasan AMDAL lemah dan tidak ada audit tahunan, kewajiban mitigasi hanya menjadi dokumen administratif. Dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat saat banjir datang,” ungkap Mikael.
Akumulasi berbagai tekanan ekologis tersebut berdampak langsung pada meningkatnya risiko bencana. Berdasarkan tren sepuluh tahun terakhir, potensi banjir pada periode 2025–2030 diproyeksikan berada pada level sangat tinggi, dengan ancaman bencana yang berulang.
Mikael menilai kondisi ini membutuhkan langkah serius dan terintegrasi, mulai dari penegakan tata ruang, pemulihan hutan hulu, normalisasi sungai berbasis ekologi, hingga penguatan pengawasan AMDAL. Tanpa intervensi kebijakan yang tegas, kerusakan ekologis Berau dikhawatirkan akan terus berlanjut dan memperbesar risiko bencana bagi masyarakat. (*/pan)


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.