IKLAN VIDEO LIST

OKEGAS.ID, Jakarta – Penembakan yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali menambah daftar panjang kasus kekerasan yang melibatkan aparat militer. Pada 17 Maret 2025, seorang prajurit TNI AL dari Lhokseumawe, Kelasi Dua DI, menembak mati Hasfiani alias Imam, seorang sales mobil sekaligus perawat di Puskesmas Babah Buloh, Aceh Utara.

Kejadian tragis lainnya juga terjadi di Lampung, di mana tiga anggota Polri, termasuk Kapolsek Negara Batin, IPTU Lusiyanto, tewas ditembak oleh oknum TNI saat menggerebek perjudian sabung ayam di Way Kanan. Penembakan yang dilakukan oleh pemilik tempat sabung ayam yang diduga seorang anggota TNI ini menambah kekhawatiran akan semakin seringnya kekerasan melibatkan prajurit TNI.

Lembaga Imparsial menganggap bahwa kejadian ini harus ditanggapi serius, terutama terkait penggunaan senjata api oleh anggota TNI terhadap warga sipil dan aparat penegak hukum. Imparsial menegaskan bahwa alasan apapun tidak dapat membenarkan tindakan penembakan terhadap warga sipil, bahkan jika senjata api tersebut dimiliki secara sah oleh anggota TNI. Penembakan ini, menurut Imparsial, merupakan penyalahgunaan kewenangan yang harus diadili sesuai dengan hukum pidana yang berlaku.

“Sepanjang tahun 2024 hingga Maret 2025, Imparsial mencatat telah terjadi lebih dari sepuluh kasus penembakan oleh TNI yang menyebabkan delapan orang sipil tewas dan 12 lainnya terluka parah. Di antaranya adalah penembakan terhadap seorang pemilik rental mobil di Tangerang dan serangan terhadap Mapolres Tarakan,” jelas Ardi Manto Adiputra, Direktur Imparsial.

Sayangnya, hingga kini pelaku penembakan tersebut belum ada yang diadili secara transparan.

“Selain itu, kami menemukan sejumlah penyimpangan peran TNI di ranah sipil terus terjadi dan dibiarkan. Kami mencatat terdapat 41 kasus kekerasan yang melibatkan dan dilakukan oleh prajurit TNI sepanjang tahun 2024 hingga kuartal 2025, dengan korban sebanyak 67 orang, 17 diantaranya meninggal dunia. Paling banyak adalah kasus pemukulan/ penganiayaan dengan 25 kasus, penembakan menyebabkan korban tewas dengan delapan kasus, penganiayaan menyebabkan korban tewas lima kasus, penembakan sewenang-wemang tiga kasus,” beber Ardi.

Kasus penembakan yang terjadi di Aceh dan Lampung semakin menambah rapor merah dan daftar panjang kekerasan dan penggunaan senjata api secara ilegal yang dilakukan oleh oknum anggota TNI. Hal ini dikarenakan tidak adanya tindakan yang tegas dalam mengadili pelaku.

“Dalam catatan kami, setiap prajurit yang terlibat dalam tindak pidana umum selalu diproses dan diadili di peradilan militer,” ujarnya.

“Kami memandang, peradilan militer cenderung menjadi sarang impunitas bagi prajurit TNI karena vonis yang diberikan tidak menimbulkan efek jera sehingga menyebabkan terus berulangnya kasus kekerasan dan penembakan sewenang-wenanh yang dilakukan oleh prajurit TNI,” sambungnya.

Untuk itu pihaknya mendorong agar prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana umum harus diproses melalui sistem peradilan umum. Hal ini merupakan amanat dari UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan TAP MPR No. VII tahun 2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai aparat pertahanan dan keamanan negara. Namun hingga saat ini, TNI dan Pemerintah enggan untuk melakukan revisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pemerintah justru berupaya melakukan perubahan terhadap Pasal 65 ayat (2) UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, yang nyatanya bertentangan dengan semangat dan agenda Reformasi TNI. Seharusnya peradilan militer hanya berwenang mengadili kejahatan/ tindak pidana militer saja, bukan tindak pidana/ kejahatan umum.

Penting dicatat, reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Kedua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Pelaksanaan agenda tersebut menjadi penting, tidak hanya sebagai bentuk implementasi prinsip _equality before the law_ sebagai salah satu prinsip penting negara hukum, tetapi juga untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, termasuk mencegah impunitas terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

“Kami mendesak Pemerintah dan DPR untuk melakukan evaluasi total terhadap institusi TNI serta memperkuat pengawasan, baik pengawasan internal maupun eksternal terhadap institusi TNI,” tegas Ardi.

Alih-alih memperluas kewenangan TNI melalui revisi UU TNI, Pemerintah dan DPR seharusnya fokus memperkuat pengawasan untuk memastikan reformasi TNI berjalan ke depan, memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakam hukum di institusi TNI. Revisi UU TNI seharusnya juga merevisi Pasal 74 yang menyebabkan terhambatnya proses reformasi peradilan militer saat ini. (*)