IKLAN VIDEO LIST

OKEGAS.ID, Tenggarong – Kopi luwak yang berasal dari Desa Perangat Baru Kecamatan Marang Kayu kini berhasil menembus pasar internasional.

Kualitasnya yang unggul dengan proses produksi yang terjaga, menjadikan kopi luwak ini sukses bersaing dipasar internasional. Dibandrol dengan harga Rp5 juta perkilogramnya.

Kepala Desa Perangat Baru, Fitriari, mengungkapkan bahwa peluncuran resmi kopi luwak dilakukan di Hotel Mercure Ibis dan mendapat sambutan luar biasa, terutama dari pasar luar negeri.

“Kami meluncurkan produk kopi luwak di Hotel Mercure Ibis, dan harga ekspor mencapai Rp5 juta per kilogram,” ujarnya, Kamis (8/5/2025).

Untuk pasar lokal, terutama di kawasan wisata Bukit Luar Bandrol, kopi luwak Perangat Baru dipasarkan dengan harga sekitar Rp4,25 juta per kilogram.

Dengan dua musim panen dalam setahun Agustus dan Februari serta rata-rata hasil lima kilogram per pohon, potensi ekonomi dari sektor ini sangat menjanjikan.

Saat ini, pengelolaan produksi kopi masih berada di tangan kelompok tani. Namun, pemerintah desa mendorong agar ke depan pengelolaan bisa dilakukan melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) demi meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PAD).

“Kami sedang mengedukasi masyarakat agar tidak hanya melihat ini sebagai usaha kelompok tani, tetapi sebagai aset desa yang bisa dikelola secara profesional,” ungkapnya.

Untuk menjamin pasokan kopi seiring tingginya permintaan, pemerintah desa telah menerbitkan peraturan desa (perdes) yang mewajibkan setiap kepala keluarga menanam minimal 10 pohon kopi.

Kebijakan ini menjadi langkah strategis untuk menjaga keberlanjutan produksi.

“Harga dan rasa bukan masalah, tapi ketersediaan stok masih menjadi tantangan,” ujarnya.

Selain kopi luwak, petani di Perangat Baru juga membudidayakan jenis lain seperti Liberica, Red Honey, dan Natural, dengan harga berkisar antara Rp800 ribu hingga Rp900 ribu per kilogram.

Dukungan dari program CSR Pertamina Hulu Kalimantan Timur turut memperkuat pengembangan ini, melalui pelatihan, penyediaan bibit, dan bantuan alat produksi.

Tidak hanya fokus pada produksi, desa ini juga tengah mengembangkan wisata edukatif berbasis kopi.

Wisatawan bisa merasakan pengalaman memetik kopi langsung, belajar teknik seduh, hingga berlatih menjadi barista.

“Kami ingin masyarakat maupun wisatawan melihat bahwa kopi desa ini bukan sekadar produk kampung, tapi komoditas bernilai tinggi yang mampu mengangkat ekonomi lokal,” tandasnya. (Adv)